Selasa, 05 Januari 2010

standar proses pendidikan

Sumber:Nigurutam

Tugas Guru Menurut Permendiknas 41, tentang Standart Proses Berikut adalah cuplikan Permendiknas No.41 tentang STANDAR PROSES yang langsung berkaitan dengan tugas guru. Selengkapnya silakan klik di http://asia.groups.yahoo.com/group/Pendidikan_Menengah/files/

PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN

A. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran

1. Rombongan belajar
Jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan be­lajar adalah:
a. SD/MI : 28 peserta didik
b. SMP/MT : 32 peserta didik
c. SMA/MA : 32 peserta did 1k
d. SMK/MAK : 32 peserta didik

2. Beban kerja minimal guru
a. beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pem­belajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksana­kan tugas tambahan;
b. beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah se kurang-kurang nya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

3. Buku teks pelajaran
a. buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh se­kolah/madrasah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku­buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;
b. rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah 1 : 1 per mata pelajaran;
c. selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku pengayaan, buku refe­rensi dan sumber belajar lainnya;
d. guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di per­pustakaan sekolah/madrasah.

4. Pengelolaan kelas
a. guru mengatur tempat duduk sesuai dengan ka­rakteristik peserta didik dan mata pelajaran, sertaaktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;
b. volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik;
c. tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;
d. guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kece­patan dan kemampuan belajar peserta didik;
e. guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dankeputusan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;
f. guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung;
h. guru menghargai pendapat peserta didik;
i. guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;
j. pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran
yang diampunya; dan
k . guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu
yang dijadwalkan.­

B. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, ::ayiatan inti dan kegiatan penutup.
1. Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengait­kan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;
d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasanuraian kegiatan sesuai silabus.
2. Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pem­belajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, me­motivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi­tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuai­kan dengan karakteristik peserta didik dan mata pela­jaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prin­sip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
2) menggunakan beragam pendekatan pembela­jaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam se­tiap kegiatan pembelajaran; dan
5) memfasilitasi peserta didik melakukan per­cobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.

b. Elaborasi
Dalarn kegiatan elaborasi, guru:
1) membiasakan peserta didik membaca dan me­nulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;
2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memuncul­kan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
3) memberi kesempatan untuk berpikir, menga­nalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif;
5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
6) rnenfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok;
8) memfasilitasi peserta didik melakukan pamer­an, turnamen, festival, serta produk yang diha­silkan;
9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa per­caya diri peserta didik.
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupunhadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplo­rasi dan elaborasi peserta didik melalui ber­bagai sumber,
3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,
4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilita­tor dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan be­nar;
b) membantu menyelesaikan masalah;
c) memberi acuan agar peserta didik dapatmelakukan pengecekan hasil eksplorasi;
d) memberi informasi untuk bereksplorasi Iebih jauh;
e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

3. Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru:
a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;
b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsis­ten dan terprogram;
c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layan­an konseling dan/atau memberikan tugas balk tu­gas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
e. menyampaikan iencana pembelajaran pada per­temuan berikutnya.

IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN

Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai hahan penyusunan laporan kema­juan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan ter­program dengan menggunakan tes dan nontes dalam ben­tuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofoiio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.

akreditasi sekolah/madrasah

Sumber:idonbiu.com

Salah satu komponen SNP atau IKKM yang harus dipenuhi sebagai sekolah SBI adalah komponen akreditasi sekolah. Akreditasi sekolah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akreditasi merupakan alat regulasi agar sekolah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus-menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Dalam hal ini akreditasi memiliki makna proses pendidikan. Di samping itu, akreditasi juga merupakan penilaian hasil dalam bentuk sertifikasi formal terhadap kondisi suatu sekolah yang telah memenuhi standar layanan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah sebagai sebuah institusi belajar berdasarkan pada standar mutu tertentu. Standar diharapkan dapat mendorong dan menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan pendidikan dan memberikan arahan untuk evaluasi diri yang berkelanjutan, serta menyediakan perangsang untuk terus berusaha mencapai mutu yang diharapkan, yaitu standar mutu nasional maupun internasional.
Proses akreditasi sekolah berfungsi untuk: (a) pengetahuan, yakni sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan dan kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait, mengacu pada standar yang ditetapkan beserta indikator-indikatornya; (b) akuntabilitas, yakni sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada publik, apakah layanan yang dilaksanakan dan diberikan oleh sekolah telah memenuhi harapan atau keinginan masyarakat; (c) pembinaan dan pengembangan, yakni sebagai dasar bagi sekolah, pemerintah, dan masyarakat dalam upaya peningkatan atau pengembangan mutu sekolah.
Hasil akreditasi memiliki makna yang penting, karena ia dapat digunakan sebagai: acuan dalam upaya peningkatan mutu sekolah dan rencana pengembangan sekolah; umpan balik untuk usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah dalam rangka menerapkan visi, misi tujuan, sasaran, strategi dan program sekolah; pendorong motivasi untuk sekolah agar terus meningkatkan mutu sekolahnya secara bertahap, terencana, dan kompetitif di tingkat kabupaten/kota, Provinsi, nasional bahkan regional dan internasional.
Akreditasi dilakukan melalui tindakan membandingkan kondisi sekolah dalam kenyataan dengan kriteria (standar) yang telah ditetapkan. Sesuai dengan Keputusan Manteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 tanggal 14 Juni 2002 tentang Akreditasi Sekolah, komponen-komponen sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah: kurikulum dan proses pembelajaran, administrasi dan manajemen sekolah, organisasi dan kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana, ketenagaan, pembiayaan, peserta didik, peran serta masyarakat, dan lingkungan dan budaya sekolah
Beberapa langkah yang perlu dilakukan sekolah dalam persiapan akreditasi adalah sebagai berikut: (a) pemantapan rencana pengembangan sekolah dan komponen akreditasi, (b) pembentukan/pemantapan tim penjamin mutu sekolah, (c) pemantapan sistem informasi manajemen, (d) pra-evaluasi diri untuk mengetahui kesiapan sekolah, (e) pengembangan dan pemantapan komponen sekolah, (f) evaluasi diri dan penyiapan aplikasi akreditasi. Strategi sekolah dalam pelaksanaan akreditasi antara lain dapat ditempuh dengan: (a) penyiapan warga sekolah, (b) penyiapan dokumen dan komponen akreditasi, (c) pendampingan dan penjelasan selama visitasi, dan (d) klarifikasi temuan. Hasil akreditasi sekolah dinyatakan dalam peringkat akreditasi sekolah. Peringkat tersebut terdiri atas tiga klasifikasi berdasarkan skor keseluruhan komponen yang diperoleh, yaitu: A (Amat Baik); B (Baik); C (Cukup). Bagi sekolah yang hasil akreditasinya kurang dari C (Cukup), dinyatakan tidak terakreditasi.
Setelah menerima hasil akreditasi dan saran-sarannya, sekolah perlu mencermati, menindaklanjuti, dan melakukan refleksi terhadap hasil akreditasi dan saran-sarannya. Apabila memperoleh akreditasi A (Amat Baik) atau B (Baik), sekolah tetap mencermati hasil penilaian dan saran pada setiap komponen. Pada komponen-komponen yang masih belum optimal hasilnya, sekolah perlu mengkaji apa penyebabnya dan bagaimana strategi untuk mengoptimalkan. Hasil C (Cukup) pada dasarnya belum menunjukkan kinerja sekolah yang memuaskan. Apalagi kalau hasilnya tidak terakreditasi. Beberapa atau bahkan pada setiap komponen masih terdapat indikator-indikator yang kondisi/mutunya kurang baik.
Sekolah, termasuk tim penjamin mutu perlu melakukan pengkajian secara sistematis. Komponen apa saja yang kurang baik dan apa penyebabnya serta upaya apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya. Sekolah diberi kesempatan dua tahun untuk meningkatkan kinerjanya, kemudian bisa mengajukan akreditasi lagi. Dengan demikian sebagai SBI, maka sekolah harus terus menerus melakukan upaya untuk mempertahankan mutu pendidikan dengan nilai akreditasi sekolah (IKKM) yang maksimal yaitu A sebagai sekolah bertaraf internasional. Kedepan secara bertahap diharapkan sekolah mampu berupaya untuk memenuhi akreditasi internasional

standar penilaian pendidikan

Sumber: kapanlagi.com

Uji publik terhadap rancangan peraturan pemerintah (RPP) Standar Penilaian Pendidikan berhasil diselesaikan pada Senin (18/12) sekaligus menjadi RPP terakhir yang diujipublikkan dari total delapan RPP implementasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) no 20 tahun 2003.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Yunan Yusuf pada penutupan uji publik RPP tersebut di Jakarta, Selasa mengatakan, standar penilaian pendidikan menjadi RPP terakhir yang diujipublikkan sekaligus istimewa karena proses penyusunannya memakan waktu paling lama yakni sejak November 2005 dan baru dapat diselesaikan pada uji publik Desember 2006.

"Dari delapan RPP yang kita uji publikan, standar penilaian pendidikan menyedot peserta terbanyak lebih dari 100 orang dari unsur akademisi, guru, pemerintah daerah, wartawan, komite sekolah, masyarakat dan sebagainya," katanya.

Standar penilaian pendidikan menjadi penting sebab dalam RPP itu antara lain diatur mengenai tujuan, prinsip, teknik dan instrumen, mekanisme dan prosedur pendidikan, penilaian oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah serta penentuan kelulusan siswa oleh satuan pendidikan, katanya.

Termasuk di dalamnya pelaksanaan evaluasi akhir belajar siswa yang meliputi empat komponen yang masing-masing berdiri sendiri, yakni pertama, siswa menyelesaikan seluruh program pembelajaran.

Kedua, siswa memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika dan jasmani, olahraga dan kesehatan.

Ketiga, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan keempat lulus Ujian Nasional (UN).

Dari empat komponen penentu kelulusan siswa pada evaluasi akhir tersebut, tiga di antaranya ditentukan oleh sekolah dan satu komponen lainnya di uji secara nasional sehingga hal tersebut merupakan kesempatan bagi pendidik dan satuan pendidikan untuk membuktikan peran dan wibawanya dalam menjadi penentu akhir kelulusan siswa, kata Prof Yunan.

BSNP merasa prihatin bahwa sejak beberapa tahun terakhir ini guru dan sekolah menghadapi "tekanan" dalam memainkan perannya sebagai selektor akhir untuk menetapkan kelulusan siswa, katanya.

"Guru dan sekolah saat ini merasa terancam dan takut dalam mengambil keputusan kelulusan siswa karena ada desakan untuk kepentingan luar. Apakah orang tua, pemilik sekolah, pemerintah daerah sehingga kalau dulu ada siswa tidak lulus, orangtua memarahi siswa justru kini sebaliknya orangtua memarahi guru, memukuli dan bahkan membakar sekolah,"katanya.

Karena itu, dengan adanya RPP Standar Penilaian Pendidikan ini, maka guru diharapkan terbebas dari tekanan-tekanan pihak luar karena jelas-jelas kini ada ukuran yang pasti mengenai penilaian hasil belajar siswa, tambahnya.

Senin, 04 Januari 2010

standar pengelolaan pendidikan

Sumber: kurnianto

Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah.Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pengelolaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan.
Pasal 49-(1)Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasisi sekolah ynag ditunjkan dengan kemandirian,kemitraan,partisipasi,keterbukaan,dan akuntabilitas
(2)Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi.

Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah
Pasal 59-(1)Pemerintah daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:
a.wajib belajar;
b.peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah;
c.penuntasan pemberantasan buta aksara;
d.penjaminan mutu pada satuan pendidikan,baik yang diselengarakan oleh Pemerintah
e.Daerah maupun masyarakat;
f.peningkatan status guru sebagai profesi;
g.akreditasi pendidika;
h.peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat;dan
i.pemenuhan standar pelayanan minimal(SPM)bidang pendidikan.[...]


Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah
Pasal 60-Pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:
a.wajib belajar;
b.peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi;
c.penuntasan pemberantasan buta aksara;
d.penjaminan mutu pada satuan pendidikan,baik ysng diselengarakan oleh pemerintah
e.maupun masyarakat;
f.peningkatan status guru sebagai profesi;
g.peningkatan mutu dosen;
h.standarisasi pendidikan;
i.akreditasi pendidikan;
j.peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal,nasional,dan global;
k.pemenuhan Standar Pelayanan Minimal(SPM)bidang pendidikan; dan Penjaminan mutu pendidikan nasional.
Standar Pengelolaan Pendidikan
Sekolah/Madrasah tidak lagi menjalankan kebijakan yang bersifat sentralistik dan pengambilan keputusan terpusat , tetapi bergeser ke arah desentralistik dan manajemen partisipatif berdasarkan pola manajemen berbasis sekolah (MBS/M)
Standar Pengelolaan Sekolah/Madrasah berdasarkan Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
Akreditasi sekolah/madrasah merupakan pelaksanaan supervisi dan evaluasi standar pengelolaan pendidikan

standar pembiayaan pendidikan

Sumber: koran pendidikan online

Alih-alih memenuhi tuntutan kebijakan peningkatan mutu pendidikan, status sekolah dasar (SDN) yang sejatinya lebih baik dibanding sekolah lain dimunculkan. Di Kabupaten Malang ditetapkan 7 (tujuh) SDN yang selanjutnya disebut sebagai SDN Potensial. Dalam rencana pendidikan jangka menengah (RPJM) Depdiknas memang disebut, hingga akhir 2009 di setiap kabupaten/kota harus terbentuk sekolah berkeunggulan lokal atau berstandar internasional.
Hanya, perwujudan sekolah unggulan di Kabupaten Malang selama ini dirasa sebatas kulit saja, hanya penampakan fisik. Itu pun masih dalam taraf yang belum memenuhi standar pendidikan nasional sepenuhnya.
Penelusuran KORAN PENDIDIKAN di SDN yang dikategorikan SDN Potensial mendapati, belum ada arah yang jelas terhadap status SDN Potensial ini. Arah yang dimaksud disini adalah mengenai pedoman, perhatian, serta pembinaan menuju peningkatan mutu dalam segala hal.
Seperti yang diungkap kepala SDN Krebet 01, Kecamatan Bululuwang, Drs Maskurodin, pedoman pelaksanaan pengembangan SDN Potensial belum jelas diberikan Dinas P & K (Dikbud). Ketidakjelasan ini terutama muncul dalam bentuk standar pembiayaan dan perlengkapan sarpras guna menghasilkan pelayanan pendidikan yang baik dan semestinya. ”2006 lalu sempat dijanjikan pendanaan bagi sekolah unggulan sebesar Rp 60 juta dari APBD. Tapi, hingga sekarang belum terealisir,” sesalnya.
Ditambahkan, SDN Krebet 01 masih kekurangan ruang kelas karena ruang yang ada dipakai untuk sarpras laboratorium, sehingga dua rombel terpaksa masuk siang. Terlebih, alat peraga pembelajaran juga belum memiliki tempat yang layak sehingga ditempatkan seadanya.
Sementara, Kepala SDN Turen 02, Drs Soewarto, mengatakan, perhatian pemerintah dalam bentuk perlengkapan dan sarpras terhadap SDN Potensial sulit tercukupi karena keterbasan keuangan pemkab.”Kemampuan (keuangan) pemerintah memenuhi standar pembiayaan dan sarpras sangat terbatas,” akunya. Bahkan, pembinaan standar pengelolaan ke arah peningkatan mutu juga dianggap belum ada.
Soewarto mencontohkan, apresiasi Dikbud untuk mengawal (membina, red) pelaksanaan program MBE (Managing Basic Education) tidaklah signifikan. Padahal, dampak MBE bagi perkembangan mutu pendidikan dasar sangatlah besar.
Dikatakan, SDN Turen 02 mengalami perkembangan sangat bagus sejak menerapkan program-program MBE seperti PAKEM dalam pembelajaran dan PSM untuk peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Menurutnya, ada peningkatan hasil belajar (rata-rata UAS, red) siswa dan keterlibatan aktif walimurid dalam bentuk paguyuban kelas setelah penerapan MBE. amin-KP

standar sarana dan prasarana pendidikan

Sumber: kompas.com

Standar sarana dan prasarana sekolah, yang meru- pakan salah satu dari delapan standar nasional pendidikan, hingga saat ini belum terpenuhi.

Tidak terpenuhinya standar tersebut menyebabkan kualitas pendidikan sampai saat ini belum seperti yang diharapkan. Fasilitas-fasilitas dasar sekolah yang mesti dipenuhi untuk tingkat SD antara lain adalah ruang kelas, ruang guru, perpustakaan, ruang usaha kesehatan sekolah, tempat beribadah, jamban, ruang olahraga, dan laboratorium IPA. Di tingkat SMP ditambah ruang konseling, organisasi kesiswaan, dan tata usaha.

Adapun di tingkat SMA prasarana laboratorium mesti lengkap, yakni laboratorium Fisika, Kimia, Biologi, komputer, dan bahasa. Djemari Mardapi, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan bahwa pemerintah mesti punya komitmen untuk menjadikan setiap sekolah memenuhi standar sekolah nasional. Untuk itu, standar sarana dan prasarana pendidikan minimal yang sudah ditetapkan harus bisa dipenuhi.

Suparman, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Rabu (21/10), mengatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu sesuai dengan standar nasional yang sudah ditetapkan pemerintah. ”Persoalan mendasar saja, seperti sarana dan prasarana sekolah, masih banyak yang belum layak, tetapi pemerintah sudah meminta semua sekolah harus mencapai standar penilaian nasional. Itu tidak adil dan merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu,” kata Suparman.

Kapasitas maksimal

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ditetapkan, bahwa jumlah murid di tiap kelas untuk SD maksimal 28 siswa dan SMP-SMA adalah 32 siswa. Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008, baru 32 persen SD memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP 63,3 persen.

Pada jenjang SMA keberadaan perpustakaan di SMA negeri mencapai 80 persen, di SMA swasta 60 persen, serta di SMK 90 persen. SMA negeri yang punya laboratorium multimedia 80 persen, sedangkan SMA swasta 50 persen. Yang punya laboratorium IPA lengkap (Fisika, Biologi, dan Kimia) sudah 80 persen.

Kondisi memprihatinkan terjadi di SMA swasta karena yang punya tiga laboratorium IPA baru 10 persen dan yang dua laboratorium IPA 30 persen.

standar isi dan standar kompetensi lulusan

Sumber:Batam pos

Empat bulan lagi, para pelajar SMA sederajat akan mengikuti ujian nasional (UN) 2010. Untuk menghadapinya, Dinas Pendidikan Kota Tanjungpinang meminta kepada seluruh sekolah untuk mengoptimalkan pembekalan kepada para siswa. Sehingga saat UN nanti, semua siswa bisa menjawab soal ujian dengan tepat. ”Kita sudah meminta ke setiap sekolah untuk memperhatikan hal ini. Kita ingin semua siswa di Tanjungpinang lulus,” kata Kadis Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Tanjungpinang, Ahadi.


Salah satu upaya yang dilakukan yakni, memberikan soal-soal perbandingan yang memiliki standar isi dan SKL (standar kompetensi lulusan) kepada siswa untuk dipelajari. Lalu guru-guru membuat soal-soal try out, yang tak jauh menyimpang dari SKL. Sehingga, jika siswa menemui soal-soal yang mirip, dapat dikerjakan dengan mudah.


Selain pembekalan lewat try out dan terobosan yang dilakukan pihak sekolah, lanjut Ahadi, pihaknya juga akan melakukan dua kali try out. ”Rencananya pertama akhir Desember dan kedua Januari. Setelah itu baru persiapan pembahasan soal-soal yang belum dimengerti,” ujar Ahadi.


Masih kata Ahadi, pelaksanaan try out ini bukan hanya dilakukan pihak sekolah dan Disdik Pemko Tanjungpinang saja. Tapi Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau juga membantu mengadakan satu kali try out. Tujuannya untuk memaksimalkan persiapan dan mendapatkan hasil kelulusan hingga 100 persen.


”Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan para siswa. Semua ini tak bisa didapat hanya dari sekolah dan Dinas pendidikan saja. Namun butuh kerja sama dari orang tua siswa,” ungkap Ahadi. Dilanjutkannya, jika anak-anak ini hanya belajar di sekolah dan tidak dilanjutkan di rumah, maka ilmu yang diserap belum maksimal. Untuk itu, Ahadi juga berharap dukungan dari orang tua untuk dapat memperhatikan anaknya. (mat)

supervisi pendidikan

Sumber:info pendidikan kita

Pendidikan dimasa desentralisasi berbeda dengan sentralisasi. Pada masa sentralisasi segala sesuatu seperti; bangunan sekolah,kurikulum,jumlah murid,buku pelajaran,cara mengajar dan sebagainya ditetapkan dan diselenggarakan oleh pemerintah secara sentral. Kewajiban kepala sekolah dan guru-guru sebagian besar hanyalah menjalankan apa yang telah ditetapkan dan diinstruksikan.
Dengan adanya desentralisasi menjadi lain;pada penyelenggaraan pendidikan masyarakat diikut sertakan dan turut serta dalam usaha-usaha pendidikan. Tanggung jawab kepala sekolah dan guru semakin banyak dan luas. Dahulu, kepala sekolah telah dianggap baik dan cakap kalau sekolahnya dapat berjalan dengan teratur tanpa menghiraukan kepentingan dan berhubungan dengan masyarakat sekitarnya,tetapi penilaian sekarang lebih dari itu.
Tugas kepala sekolah sekarang mengatur jalannya sekolah dan dapat bekerjasama dan berhubungan erat dengan masyarakat. Kepala sekolah wajib membangkitkan semangat staf guru-guru dan pegawai sekolah untuk bekerja dengan baik,membangun visi dan misi, kesejahteraan, hubungan dengan pegawai sekolah dan murid , mengembangkan kurikulum.
Salah satu tugas kepala sekolah adalah sebagai pembina dan pembimbing guru agar bekerja dengan betul dalam proses pembelajaran siswanya. Supervisi pembelajaran mempunyai tiga prinsip yaitu:(a) supervisi pembelajaran langsung mempengaruhi dan mengembangkan perilaku guru dalam mengelola proses belajar mengajar;(b) perilaku supervisor dalam membantu guru mengembangkan kemampuannya harus didesain dengan jelas;(c) tujuan supervisi pembelajaran adalah guru makin mampu menjadi fasilitator dalam belajar bagi siswanya

BAB I

A.Definisi Supervisi
Menurut keputusan Menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, termasuk kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penilik sekolah, dan para pengawas ditingkat kabupaten/kotamadya, serta staf di kantor bidang yang ada di tiap provinsi.
Salah satu tugas pengawas dengan perincian sebagai berikut:
”Mengendalikan pelaksanaan kurikulum meliputi isi, metode penyajian, penggunaan alat perlengkapan dan penilaian agar sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku.”
Pada rambu-rambu penilaian kinerja kepala sekolah (SD),Dirjen Dikdasmen tahun 2000 sebgai berikut:
1) Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan
2) Kemampuan melaksanakan program supervisi pendidikan
3) Kemampuan memanfaatkan hasil supervisi
Pada dasarnya tugas pokok kepala sekolah adalah menilai dan membina penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain salah satu tugas kepala sekolah sebagai pembinaan yang dilakukan memberikan arahan, bimbingan, contoh dalam proses pembelajaran di sekolah. Berarti bahwa kepala sekolah merupakan supervisor yang bertugas melaksanakan supervisi pembelajaran.
Willes (1975), mengatakan di atas bertujuan untuk memelihara atau mengadakan perubahan operasional sekolah, dengan cara mempengaruhi tenaga pengajar secara langsung demi mempertinggi kegiatan belajar siswa. Supervisi hanya berhubungan langsung dengan guru, tetapi berkaitan dengan siswa dalam proses belajar.
Ross L.(1980), mendefinisikan bahwa supervisi adalah pelayanan kepada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.
Purwanto (1987), supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Sesuai dengan rumusan di atas maka kegiatan yang dapat disimpulkan dalam supervisi pembelajaran sebagai berikut:
1). Membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru menjalankan tugasnya terutama dalam pembelajaran.
2). Mengembangkan kegiatan belajar mengajar.
3). Upaya pembinaan dalam pembelajaran.
B. Prinsip Supervisi
1) Supervisi harus konstruktif.
2) Supervisi harus menolong guru agar senantiasa tumbuh sendiri tidak tergantung pada kepala sekolah. .
3) Supervisi harus realistis.
4) Supervisi tidak usah muluk-muluk dan didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya pada guru-guru.
5) Supervisi harus demokrat.
6) Hakikat pengembangan mutu sekolah adalah usaha bersama berdasarkan musyawarah.
7) Supervisi harus obyektif.
8) Kegiatan tidak boleh diwarnai oleh prasangka kepala sekolah, diperlukan data konkret tentang keadaan sebenarnya dan kepala sekolah juga harus mengakui keterbatasannya.
C. Jenis-Jenis Supervisi
Beberapa jenis supervisi antara lain observasi kelas, saling kunjung, demonstrasi mengajar, supervisi klinis, kaji tindak (action research).

BAB II
Melaksanakan Supervisi Pembelajaran

A. Observasi Kelas
Observasi kelas merupakan salah satu cara paling baik memberikan supervisi pembelajaran karena dapat melihat kegiatan guru, murid dan masalah yang timbul.
1. Perencanaan
Kepala sekolah merencanakan dalam menyusun program dalam satu semester atau tahunan. Program tidak terlalu kaku, tergantung dari jumlah guru yang perlu di observasi. Ada tiga macam observasi yaitu dengan pemberitahuan, tanpa pemberitahuan, dan atas undangan.
2. Mekanisme Observasi
a. Persiapan yang diperhatikan:
1) Guru diberi tahu kepala sekolah bahwa kepala sekolah akan mengadakan observasi .
2) Kesepakatan kepala sekolah dan guru tolak ukur tentang apa yang diobservasi.
b. Sikap observer di dalam kelas
1) Memberi salam kepada guru yang mengajar.
2) Mencari tempat duduk yang tidak mencolok.
3) Tidak boleh menegur kesalahan guru di dalam kelas.
4) Mencatat setiap kegiatan.
5) Bila ada memakai alat elektronika: tape recorder, kamera.
6) Mempersiapakan isian berupa check list.
c. Membicarakan hasil observasi
Hasil yang dicatat dibicarakan dengan guru, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan:
1). Kepala sekolah mempersiapkan( bisa bertanya pada nara sumber atau perpustakaan).
2). Waktu percakapan.
3). Tempat percakapan.
4). Sikap ramah simpatik tidak memborong percakapan.
5). Percakapan hendaknya tidak keluar dari data observasi.
6). Guru diberi kesempatan dialog dan mengeluarkan pendapat.
7). Kelemahan guru hendaknya menjadi motivasi guru dalam memperbaiki kelemahan.
8). Saran untuk perbaikan diberikan yang mudah dan praktis.
9). Kesepakatan perbaikan disepakati bersama dengan menyenangkan.
d. Laporan percakapan
1). Hasil pembicaraan didokumenkan menurut masing-masing guru yang telah diobservasi.
2). Isi dokumen dimulai dari tanggal, tujuan data yang diperoleh, catatan diskusi, pemecahan masalah dan saran-saran.
B. Saling Mengunjungi
Dalam kegiatan belajar mengajar sudah ada wadah dari kegiatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pembelajaran guru-guru antara lain:
1. Untuk tingkat SMP dan SMA adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
2. Untuk tingkat Sekolah Dasar adalah Pusat Kegiatan Guru (PKG).
C. Demonstrasi Mengajar
Dalam kegiatan pembelajaran sangat sukar menentukan mana yang benar dalam praktek mengajar karena mengajar menurut Siswoyo(1997), sebagai seni dan filsuf. Menurut pendapat di atas mengajar dalam pekerjaan di sekolah bukan pekerjaan yang mudah, sehingga kepala sekolah dalam demonstrasi pembelajaran tidak perlu mengakui kelemahan dan perlu mencarikan ahli yang dapat memberikan gambaran tentang pembelajaran yang baik.
Selain itu dapat juga menggunakan kamera yang sederhana dan hasilnya dapat dilihat dengan TV Multi media. Yang perlu dipersiapkan:
1. Guru yang mengajar harus memberikan persiapan.
2. Kamera diletakkan di tempat strategis sehingga aktivitas guru siswa terlihat dan tanpa mengganggu kegiatan pembelajaran.
3. Kepala sekolah dan guru melihat proses pembelajaran.
4. Hasil rekaman dapat dilihat dengan TV Multi media dan ditonton bersama kepala sekolah maupun guru-guru yang lain.
5. Guru-guru dan kepala sekolah memberikan komentar.
6. Hasil diskusi-diskusi tersebut untuk perbaikan mengajar guru ysng bersangkutan.
D. Supervisi Klinis
Supervisi klinis termasuk bagian dari supervisi pengajaran. Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaannya ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran dan kemudian langsung diusahan perbaikan kekurangan dan kelemahan tersebut.
Menurut Made Pidarta(1992),supervisi klinis diberlakukan bagi guru-guru yang sangat lemah dalam melaksanakan tugasnya. Untuk memperbaikinya tidak cukup dilakukan satu atau dua kali supervisi, melainkan dibutuhkan serentetan supervisi untuk memperbaiki satu persatu kelemahannya.
Pelaksanaan supervisi klinis menurut La Sulo (1987), mengemukakan ciri-ciri supervisi sebagai berikut:
1. Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi.
2. Kesepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis ketrampilan yang paling penting (diskusi guru dengan supervisor).
3. Instrumen dikembangkan dan disepakati bersama antara guru dengan supervisor.
4. Guru melakukan persiapan dengan aspek kelemahan-kelemahan yang akan diperbaiki. Bila perlu berlatih di luar sekolah.
5. Pelaksanaannya seperti dalam teknik observasi kelas.
6. Balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif.
7. Guru hendaknya dapat menganalisa penampilannya.
8. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan.
9. Supervisor dan guru dalam keadaan suasana intim dan terbuka.
10. Supervisi dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan ketrampilan pembelajaran.
E. Kaji Tindak
Sebagaimana namanya, penelitian aksi atau action research, merupakan paduan antara aksi (tindakan, action) dan penelitian (research). Aksi yang sekaligus penelitian yang mengandung aksi. Jenis metode penelitian ini dapat dilaksanakan di sekolah untuk memecahkan permasalahan pendidikan antara lain bagaimana siswa rajin mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Fokus utama kaji tindak adalah mendorong para praktisi untuk meneliti dan terlibat dalam praktek penelitiannya sendiri. Hasil penelitiannya dipakai sendiri oleh peneliti dan orang lain yang membutuhkan.
Kaji tindak bersifat partisipatif, karena melibatkan guru dalam penelitiannya sendiri dan kolaborator, karena kaji tindak melibatkan orang-orang lain sebagai bagian dari suatu penelitian dan hasilnya dapat dinikmati bersama. Sehingga peran kepala sekolah dapat mendorong guru-guru dalam memperbaiki pembelajaran.
Menurut Sungkowo (2004), kaji tindak (action research) dapat digunakan untuk guru-guru dalam membantu pembelajaran dan menolong membantu dalam penulisan karya ilmiah.
Pada umumnya pelaksanaan Kaji tindak ditujukan untuk :
1. Meningkatkan kualitas, seperti kualitas pembelajaran, kualitas siswa, kualitas kerjasama, kualitas bertanya.
2. Meningkatkan efektivitas, seperti siswa memahami apa yang diterangkan guru, siswa malaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan.
3. Meningkatkan efisiensi guru, seperti dapat memanfaatkan metode, stategi dan penilaian pembelajaran.
Menurut Kemmi (1995), Kaji tindak dirumuskan dalam empat tahap yaitu: tahap perencanaan, tahap aksi atau pelaksanaan tindakan, tahap pengamatan, tahap evaluasi dan refleksi/umpan balik.

a. Tahap Perencanaan:
Yang dimaksud tahap perencanaan adalah penelitian rencana kegiatan yang akan dilakukan. Untuk dapat menyusun rencana tersebut, ada beberapa kegiatan yang harus dilalui:
1). Menemukan problem.
2). Rencana pertemuan selama satu semester (32 pertemuan).
3). Kegiatan yang belum dilaksanakan sebelumnya.
4). Mengembangkan hipotesis.
Untuk menemukan dan merumuskan problem kegiatan yang perlu dilaksanakan, antara lain :

1). Meningkatkan kemampuan siswa bertanya.
2). Meningkatkan gemar membaca.
3). Meningkatkan nilai rapor dalam pembelajaran tertentu.
4). Memanfaatkan buku-buku perpustakaan.
Kegiatan hipotesis dirumuskan antara lain :
1). Pokok bahasan yang akan dilakukan.
2). Rencana bagaimana aksi akan dilakukan ( urutan kegiatan, waktu pelaksanaan, bahan yang diperlukan).
Syarat Kolaborator dirumuskan antara lain :
1). Teman guru-guru (kalau bisa sejenis).
2). Yang sudah memiliki pengalaman mengajar.
b. Tahap Pelaksanaan
Peneliti memulai melaksanakan apa yang direncanakan sebelumnya dan kolabulator yang duduk di bangku belakang mengamati dan mencatat dengan sikap netral. Hasil catatan tersebut berupa catatan lapangan dan sebaiknya dengan dokumen tape recorder atau yang lainnya.
c. Tahap Refleksi
Hasil dari diskusi bersama kolabulator untuk mengadakan refleksi tindakan-tindakan yang telah dilakukan guru tentang upaya kesungguhan guru atau kelemahan-kelemahan selama pelaksanaan tindakan akan dijadikan dasar dalam membuat perbaikan perencanaan siklus kedua. Kemungkinan siklus kedua muncul permasalahan yang harus dipecahkan. Permasalahan pertama diperbaiki bersama sehingga fokus penelitian akan bertambah
d. Laporan Penelitian
Agar hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh pihak lain baik guru, pejabat pendidikan dan yang lain, maka hasil penelitian harus dikomunikasikan lewat pelaporan. Laporan hasil penelitian kaji tindak terdiri dari :
1). Gagasan umum.
2). Perumusan masalah.
3). Perencanaan penelitian kaji tindak
4). Pelaksanaan penelitian kaji tindak.
5). Monitoring.
6). Evaluasi dan refleksi.
7). Saran dan rekomendasi.


BAB III
PERANGKAT SUPERVISI

Salah satu perangkat yang digunakan dalam melaksanakan supervisi ialah instrumen observasi pembelajaran/check list terutama untuk supervisi kelas, supervisi klinis, dengan demikian diharapkan indikator yang diamati untuk setiap unsur yang diamati, antara lain :
A. Persiapan dan apersepsi.
B. Relevansi materi dengan tujuan instruksional.
C. Penguasaan materi.
D. Strategi.
E. Metode.
F. Manajemen kelas.
G. Pemberian motivasi kepada siswa.
H. Nada dan suara.
I. Penggunaan bahasa.
J. Gaya dan sikap perilaku.

bimbingan dan konserling

Sumber:Akhmad Sudrajat

Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:

1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.

1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :

1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli

pengembangan kompetensi SDM kependidikan

Sumber: pusat pengembangan penataran guru IPA

Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air kita Indonesia tercinta ini di tiap-tiap jenjang, baik jenjang SD, SMP,SMA dan jenjang SMK. Hal ini dilaksanakan karena antara lain untuk memenuhi tuntutan zaman saat sekarang. Zaman sekarang adalah era globalisasi dan Teknologi Komunikasiyang tidak mungkin dapat kita bendungi, Namun kita harus dapat mensiasati atau beradaftasi dengan perkembangan dan kemajuan zaman tersebut, dengan melalui melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan atau melalui pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP dan guru Fisika SMA seperti yang dilakukan oleh BPG Provinsi Riau bekerjasama dengan PPPPTK IPA Bandung dari tanggal 18 – 30 Mei 2009.
Kegiatan diklat guru IPA SMP menerima materi Fisika : Mekanika, Kinematika, optic geometri, Optik Fisis, Panas dan termodinamika. Sedangkan bagi guru SMA Fisika menerima materi Termodinamika dan aplikasinya, Optika Geometrid an aplikasinya, Mekanika dan pembelajaran penggunaan ICT dalam menunjang pembelajaran IPA di sekolah. Materi-materi tersebut akan disajikan baik secara teori disertai dengan pembahasannya, serta kegiatan praktikum untuk mrmbuktikan teori-teori yang telah disajikan agar memperoleh kesetimbangan antar kegiatan teori dan kegiatan praktikum sehingga tidak ada lagi istilah bahwa IPA sastra artinya pembelajaran IPA hanya diberikan teori-teori melainkan harus dibarengi dengan kegiatan praktikum.
Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan guru IPA SMP dan guru Fisika SMA dari Provinsi Riau yang bekerjasama antara BPG Riau dengan PPPPTK IPA yang diharapkan menghasilkan guru-guru yang memiliki wawasan, Pengetahuan dan keterampilan dalam :
• Memahami konsep – konsep IPA baik secara teori maupun Praktikum
• Memahami Pengetahuan Fisika, Kimia dan Biologi (IPA) lebih meningkat dalam pembelajaran sehingga menyampaikan materi tersebut mudah dipahami atau dimengerti oleh siswa.
• Memahami strategi bagaimana melakukan evaluasi pembelajaran yang sudah dilakukan.
Tiada harapan lain, sehingga Diklat Peningkatan kompetensi guru IPA SMP dan guru Fisika SMA dari Provinsi Riau yang bekerjasama antara BPG Riau dengan PPPPTK IPA dapat meningkatkanmutu Pendidikan di Provinsi Riau secara khusus secara umum meningkatnya mutu pendidikan seluruh Indonesia dengan melalui kerja keras dari semua unsure, bekerja secara ikhlas dari semua unsur untuk memperoleh sesuatu dan melakukan pekerjaan tersebut secara cerdas serta seluruh pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara tuntas sesuai dengan batas Waktu yang telah ditentukan.

Peran guru dalam pembelajaran

Sumber:Akhmad sudrajat

Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.

Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.

Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:

1. Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
5. Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa

Di samping itu, guru seyogyanya dapat memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang akan menentukan keberhasilan belajar siswa, diantaranya:

1. Setiap siswa memiliki pengalaman dan potensi belajar yang berbeda-beda.
2. Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
3. Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
4. Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.
5. Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
6. Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
7. Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment).

Selain dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar dan memperhatikan karakteristik individual, juga guru dapat memperhatikan asas-asas pembelajaran sebagai berikut:

1. Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan diperlakukan sebagai mitra kerjanya
2. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
3. Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif.
4. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
5. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
6. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
7. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.

Pada bagian lain, Wina Senjaya (2008) mengemukakan bahwa agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator, maka guru perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan sumber dan media belajar yang cocok dan beragam dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya.

Terkait dengan sikap dan perilaku guru sebagai fasilitator, di bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru untuk dapat menjadi seorang fasilitator yang sukses:

1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan

profesi pendidikan tenaga kependidikan

Sumber: Batam Pos

PROFESI guru sangat mulia, profesi luhur yang patut kita berikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Mudahan-mudahan, pencanangan guru sebagai tenaga profesional dapat meningkatkan harkat dan martabat guru sebagai pejuang tanpa akhir.
Di tengah terpuruknya posisi Indonesia dalam indeks pembangunan manusia, di tengah usaha untuk bangkit memulihkan martabat bangsa. Di tengah usaha untuk mencapai pendidikan untuk semua sebelum tahun 2015 sebagai sasaran pembangunan yang dicanangkan Perserikatan Bangsa Bangsa, pencanangan guru sebagai tenaga profesional patut untuk disyukuri oleh kalangan guru. Ini bukanlah ”hadiah” melainkan “hak” yang sebenarnya sudah sejak lama diberikan kepada guru sebagai pejuang yang berada pada garda terdepan menuntaskan kebodohan.


Sebagai ujung tombak di dunia pendidikan dengan dicanangkannya guru sebagai tenaga profesional, pemerintah perlu memberikan penambahan penghasilan kepada guru seperti tenaga-tenaga profesional-profesional lainnya. Supaya mereka bisa bekerja dengan tenang dan fokus tanpa terbebani dengan masalah. Ini berarti guru perlu mendapat jaminan kesejahteraan hidup, hari tua, keamanan, keselamatan kerja, dan jaminan bagi anak-anak mereka di semua jenjang pendidikan dan jaminan kompetensi.


Setelah itu tercapai, lantas bagaimana guru harus bersikap. Sebagai profesional, guru hendaknya menyadari bahwa hak senantiasa berdampingan dengan kewajiban. Fair play dan aturan main memang perlu ada karena sangat tidak etis menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban. Usaha mereposisi profesi guru tidak akan menghasilkan momentum yang diinginkan jika tidak disertai sikap yang profesional.


Nah, untuk bersikap profesional menurut Elslee YA Seyoputri (2005), guru harus berani menghadapi tantangan untuk merubah tiga hal yakni mindset, heartset, dan skillset. Selain itu, sikap profesional guru juga ditandai dengan adanya sebuah kultur yang dibangun atas dasar visi, misi, dan nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh setiap penyandang profesi ini. Kultur ini akan mengikat guru dalam kesamaan komitmen dan perjuangan. Belum terlambat bagi guru untuk duduk bersama merumuskan visi dan misinya sebagai pendidik.


Juga belum terlambat bagi guru untuk menuliskan hitam di atas putih nilai-nilai moral dan kebajikan universal yang mendasari semua tindakannya dan berkomitmen atas apa yang telah disepakati. Guru perlu membentuk forum akademis dan secara reguler membagi ilmu pengetahuan lewat diskusi, seminar, dan konferensi. Guru juga dituntut setiap saat mendiskusikan isu-isu penting menyangkut profesi dan masa depan bangsa, bukan bertemu untuk membuat soal, silabus, atau modul.


Sertifikasi


Setelah disahkannya UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, profesionalitas guru semakin tercabar. Sosok guru profesional dalam UU tersebut adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Meskipun sejak dulu soal profesionalisasi guru menjadi buah mulut yang tak berkesudahan, tetapi belum memiliki kekuatan hukum yang jelas. Kehadiran UU tersebut telah menjadikan keprofesionalan guru kian mendasar, mutlak, dan harus dijadikan sebagai prasyarat utama. Namun, berbagai persoalan bisa muncul. Persoalan yang menjadi fokus utama berbagai pihak adalah kualifikasi dan uji sertifikasi guru.


Di samping untuk meningkatkan taraf kesejahteraan guru, kualifikasi dan sertifikasi bermaksud mengampu tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional yang tertuang di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak akan tercapai kalau sosok guru sebagai tenaga profesional belum terwujud. Untuk merealisasikan ini, bukan hanya pemerintah pusat yang bertungkus-lumus, tetapi keberadaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota hendaknya berpadu memikirkan konsep jitu dan menerapkannya.


Program-program penyetaraan pendidikan dan pelaksanaan pelatihan sudah semestinya dilakukan menurut jalur yang sah. Kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi sudah sepatutnya memperhatikan kelayakan dan kesesuaian, bukan semata-mata untuk memperoleh ijazah S1 atau pamer gelar yang selama ini sudah menjadi wabah penyakit yang merebak di tanah air. Begitu banyak penyetaraan S1 dikemas dalam bentuk proyek yang sangat merugikan guru, terutama jika dikaitkan dengan persyaratan kualifikasi akademik uji sertifikasi.


Kualifikasi akademik guru ditunjukkan dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratkan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diampunya sesuai Standar Nasional Pendidikan. Kualifikasi akademik guru diperoleh melalui program pendidikan formal S1 atau D4 kependidikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi. Kualifikasi akademik guru bagi calon guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru.


Sertifikat pendidik diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Bagi guru TK/RA, kualifikasi akademik minimal D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi di bidang PAUD, sarjana kependidikan lainnya, dan Sarjana Psikologi.


Bagi guru SD/MI, kualifikasi akademik minimal D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, Sarjana Kependidikan lainnya, atau Sarjana Psikologi. Bagi guru SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, kualifikasi akademik minimal D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.


Persoalan mendasar muncul pada guru SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Tidak sedikit guru pendidikan menengah di Indonesia yang terjebak mengambil program penyetaraan S1 yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan sebelumnya. Misalnya, guru matematika D3 mengambil penyetaraan S1 Bahasa Indonesia. Jika yang bersangkutan dalam tugasnya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka bisa ikut uji sertifikasi bidang studi Bahasa Indonesia. Yang jadi persoalan, guru bersangkutan masih tetap kembali ke “habitatnya”, yaitu mengajar siswa pada mata pelajaran Matematika.



Apapun alasannya, inilah kenyataannya. Bukankah ini suatu bukti bahwa dunia pendidikan tinggi kita pun masih bisa diotak-atik oleh duit, tanpa mempertimbangkan segi keilmiahan sebagai simbol perguruan tinggi.


Dalam uji sertifikasi ini, ada beberapa kompetensi yang menjadi bahan tes, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.



Tampaknya, ini suatu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu guru sekaligus kesejahteraannya. Konon kabarnya, guru yang berhasil dalam uji sertifikasi ini, akan memperoleh tunjangan profesional sebesar gaji. Angin segar ini semoga saja memberikan suatu perubahan dalam kepribadian guru sebagai tenaga pendidik. Perubahan yang diharapkan antara lain, yaitu menambah wawasan kependidikan, menjawab cabaran uji sertifikasi, berkeinginan untuk mengubah nasib ke yang lebih baik, dan menjadi tenaga yang benar-benar profesional dalam bidangnya.


Uji sertifikasi yang direncanakan selesai paling lambat tahun 2015 ini merupakan tantangan baru bagi guru. Sikap malas, lambat, dan sambil lewat akan mematikan daya saing untuk perubahan masa depan. Bagaimanapun, uji sertifikasi merupakan jaminan masa depan yang lebih gemilang.



Guru-guru dicabar untuk menjawab tantangan ini dengan segala kemampuan dan upaya yang dimiliki. Ini tidak bisa dielak. Perubahan zaman menuntut segalanya untuk berubah. Jika ingin dikatakan sebagai tenaga profesi, guru sudah selayaknya bergegas mempersiapkan dan melibatkan diri untuk uji sertifikasi. Pemikiran-pemikiran negatif, cemooh, dan pesimis seharusnya tidak layak lagi duduk di benak kita saat ini. Pemikiran-pemikiran demikian hanya melahirkan kehancuran kepribadian guru.


Keberadaan uji sertifikasi dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak resmi, bisa dikatakan sebagai bentuk pengakuan masyarakat terhadap profesionalisme guru. Sudah selayaknya profesi guru dikembalikan seperti semula, yaitu seperti dalam sejarah. Sejarah Jepang membuktikan kekuatan posisi guru.


Sejarawan dan budayawan nasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Umar Kayam dalam novelnya Para Priyayi, menjelaskan bahwa kedudukan guru pada zaman Belanda sangat terhormat, sejajar dengan dokter atau jaksa. Profesi guru bukan suatu profesi kebetulan, kelas bawah, atau diselubung kepapaan, meskipun ini suatu keniscayaan. Tantangan yang dilakukan melalui uji sertifikasi ini nantinya merupakan bukti kuat tentang eksistensi guru..


Masa depan adalah perubahan. Dalam kehidupan, yang tidak berubah justeru perubahan itu sendiri. Dunia pendidikan, yang merupakan kehidupan nyata guru, tidak bisa membebaskan diri dari perubahan zaman. Tentu saja dinamika ini menuntut berbagai kematangan, keunggulan, persaingan, kepribadian yang mantap, dan sederet perangai pembangunan masa depan. Karena itu, uji sertifikasi bukanlah suatu upaya untuk memperkecil langkah guru untuk menggapai kesejahteraan. Bukan pula suatu gejala ketidakikhlasan pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan guru. Selentingan negatif bahwa ini merupakan “niat setengah hati” dari pemerintah patut kita buang jauh-jauh. Sudah sepatutnya, uji sertifikasi dipandang sebagai gugahan semangat untuk melecut berbagai kompetensi guru.


Dengan demikian, banyak harapan yang dapat kita gantang. Melahirkan pikiran-pikiran negatif terhadap suatu perubahan tidak akan memberikan apa-apa, kecuali kekecewaan yang berkepanjangan. Justru kekecewaan ini berbalik pada diri kita sendiri sebagai pendidik. Lebih baik kita berupaya menghadapinya daripada “berpikir negatif”, tetapi kita ikut di dalamnya. Kepada guru yang juga diriku, mari kita bersiap sedia menjawab tantangan zaman dengan segantang harapan melalui uji sertifikasi.


Sertifikasi guru lewat uji kompetensi juga merupakan konsekuensi untuk mendapatkan pengakuan sebagai profesional. Uji kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku adalah cerminan dari seorang guru. Sertifikasi ini bisa berkualifikasi A, B, C atau D diikuti konsekuensi masing-masing. Di satu sisi, seiring dengan sertifikasi merit sistem perlu diberlakukan untuk memotivasi guru agar lebih baik. Seberapa besar penghargaan, tunjangan, dan kenaikan pangkat dan golongan bisa didasarkan atas kualifikasi tersebut. Di sisi lain, kesempatan untuk memperbaiki kualifikasi hendaknya juga terbuka lebar namun terukur.


Jika uji kompetensi yang diperoleh seseorang tidak mencapai standar yang diinginkan maka pada waktu yang ditentukan, konsekuensinya stick and carrot harus diberlakukan karena pendidikan harus bervisi solus publica suprema lex (kepentingan umum adalah kepentingan tertinggi) demi mencapai masa depan yang lebih baik. Konsekuensi dari sertifikasi bagi mereka yang tidak memenuhi syarat harus berpindah ke tempat yang mereka mungkin lebih dibutuhkan.


Dengan sertifikasi mestinya kepercayaan terhadap guru yang kini mulai pudar alias tak pantas lagi menyandang gelar digugu dan ditiru mestinya naik, sebaliknya kepercayaan guru juga meningkat. Jika guru sudah berjalan dengan kepala tegak, saya yakin perilaku birokratik yang selama ini memandang guru sebelah mata dengan sendirinya akan terkikis. Posisi tawar guru juga akan lebih tinggi dan ini akan bisa mereduksi intervensi birokarsi terhadap kewenangan profesional.


Akhirnya, lewat tulisan yang sederhana ini saya mau mengatakan perjuangan guru untuk menjadi lebih baik dan profesional adalah sebuah perjuangan tanpa akhir. Seorang guru baru berhenti menjadi guru ketika ia menghembuskan napas terakhir. ***

Undang-undang guru dan dosen

Sumber: Era muslim

Guru dan dosen tidak perlu risau, sebab keberadaan UU Guru dan Dosen justru dimaksudkan untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan agar lebih profesional dan bermutu sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Atas kenyataan itulah maka permohonan uji materil terhadap UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen ditolak oleh hakim konstitusi yang dipimpin oleh Jimly Ashiddiqie, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (22/2).
Dalam pertimbangan hakim menyebutkan, keberadaan UU Guru dan Dosen bertujuan untuk mengembalikan dan mengangkat martabat guru dan dosen yang filosofinya dipandang sebagai pelaksanaan amanat pasal 31 ayat 1 UUD 1945, yang mengatur hak warga negara untuk memperoleh pendidikan.
''Undang-undang tersebut justru dimaksudkan untuk melindungi warga negara agar tidak mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu, '' kata salah seorang hakim konstitusi Laica Marzuki.
Lebih lanjut Laica mengatakan, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu diperlukan guru dan dosen yang profesional, dan guna mencapai tujuan tersebut beberapa hal harus dipenuhi antara lain, guru/dosen harus terkualifikasi yaitu dengan memiliki kualifikasi S1 atau D IV bagi guru, sedang bagi dosen harus sekurang-kurangnya memperoleh pendidikan S2.
Majelis hakim mengganggap, keseluruhan pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon dari para guru dan dosen pada UU Guru dan Dosen sudah sangat sesuai dengan UUD 1945 yang dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, serta pasal 31 UUD 1945 yang menetapkan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan.
"Dalam konteks persaingan global kita memerlukan guru dan dosen yang profesional, dan senantiasa meningkatkan dan mengembangkan kompetensi serta kualifikasi mereka masing-masing secara berkelanjutan, yang sejalan dengan perkembangan Iptek untuk mensejajarkan dengan bangsa lain, " jelas Laica.
Sementara itu Hakim Konstitusi lainnya Achmad Roestandi menyatakan, guru dan dosen yang sudah bekerja selama 10 tahun, meski belum memiliki sertifikat pendidik tetap menikmati tunjangan fungsional dan maslahat tambahan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 dan pasal 82 UU Guru dan Dosen karena tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Mengenai penggajian guru dan dosen yang dibedakan antara swasta dan negeri, Majelis hakim berpendapat tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab terjadinya pembedaan tersebut karena dasar pengangkatan guru/dosen dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan hak tersebut dilindungi oleh UUD 1945.

Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional

Sumber:Media Online Bersama Toba dot Com

Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan perwujudan dari tekad melakukan reformasi pendidikan yang sekian lama terasa mandeg dan tidak mampu lagi menjawab tuntutan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara di era global. Reformasi pendidikan merupakan sebuah langkah strategis sebagai respons sekaligus penguatan terhadap reformasi politik yang ditempuh pemerintah Indonesia yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi kepada daerah.

Otonomi dan desentralisasi kewenangan menuntut dilakukannya berbagai perubahan, penyesuaian, pembudayaan dan pembaruan dalam rangka mewujudkan proses pendidikan yang bermutu, otonom, demokratis, memperhatikan keragaman, serta mampu mendorong partisipasi masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar dapat dicapai apabila didukung oleh prasarana dan sarana pendidikan yang memadai. Sampai akhir tahun 2007 kondisi prasarana pendidikan SD/MI menunjukkan bahwa masih terdapat ruang kelas SD/MI/SDLB yang mengalami kerusakan sebesar 203.057 (18,9%) dari 1.073103 ruang kelas yang ada. Sudah menjadi kewajiban seluruh pemangku kepentingan untuk bertindak secara sinergis dalam penuntasan rehabilitasi gedung SD sebagaimana dikehendaki pemerintah bahwa pada tahun 2008 diharapkan tidak ada lagi sekolah yang rusak.
Sementara itu terkait dengan sarana pendidikan, PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki perpustakaan dan sarana pendidikan yang memadai meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya untuk menunjang Proses Belajar Mengajar.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan semakin menguatkan bahwa setiap sekolah/madrasah wajib menyelenggarakan perpustakaan dan memiliki koleksi buku teks pelajaran dan mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.
Untuk memenuhi tuntutan UU dan PP di atas, pada tahun anggaran 2008 pemerintah meningkatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Rp. 5,195 Triliun menjadi Rp. 7,015 Trilyun, yang akan digunakan selain untuk merehabilitasi ruang kelas SD/MI/SDLB dan pembangunan perpustakaan, juga digunakan untuk penyediaan sarana pendidikan yang mampu menunjang peningkatan mutu sekolah di kabupaten/kota penerima DAK di seluruh Indonesia.
Berdasarkan PP Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Menteri Pendidikan Nasional menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan DAK Bidang Pendidikan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari DAK bidang pendidikan di kabupaten/kota penerima DAK. Sebagai tindak lanjut petunjuk teknis penggunaan DAK bidang pendidikan, perlu ditetapkan surat edaran tentang tata cara pelaksanaan dana alokasi khusus bidang pendidikan tahun 2008 sebagai standar minimal untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan mutu sekolah.
Apabila terdapat bahan bangunan, peralatan pendidikan, buku pengayaan, buku referensi, sarana multimedia dan peralatan perpustakaan yang standarnya setara atau lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan standar/spesifikasi teknis minimal yang telah ditentukan dan terjangkau oleh alokasi dana yang tersedia maka dapat digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan pendidikan, buku pengayaan, buku referensi, sarana multimedia dan peralatan perpustakaan yang diadakan.

Manajemen Berbasis Sekolah

Sumber: Forum komunikasi, interaksi dan kolaborasi pendidik

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan sebagai standar dalam mengembangkan keunggulan pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
MBS merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan seluruh sumber internal dan eksternal dengan lebih menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui perluasan otonomi sekolah. Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan (Wikipedia, 2009)
MBS juga merupakan salah satu model manajemen strategik. Hal ini berarti meningkatkan pencapaian tujuan melalui pengerahan sumber daya internal dan eksternal. Menurut Thomas Wheelen dan J. David Hunger (1995), empat langkah utama dalam menerapkan perencanaan strategik yaitu (1) memindai lingkungan internal dan eksternal (2) merumuskan strategi yang meliputi perumusan visi-misi, tujuan organisasi, strategi, dan kebijakan (3) implementasi strategi meliputi penyusunan progaram, penyusunan anggaran, dan penetapan prosedur (4) mengontrol dan mengevaluasi kinerja.
MBS merupakan salah satu strategik meningkatkan keunggulan sekolah dalam mencapai tujuan melalui usaha mengintegrasikan seluruh kekuatan internal dan eksternal. Pengintegrasian sumber daya dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi atau kontrol. Strategi penerapannya dikembangkan dengan didasari asas keterbukaan informasi atau transparansi, meningkatkan partisipasi, kolaborasi, dan akuntabilitas.
Tantangan praktisnya adalah bagaimana sekolah meningkatkan efektivitas kinerja secara kolaboratif melalui pembagian tugas yang jelas antara sekolah dan orang tua siswa yang didukung dengan sistem distribusi informasi, menghimpun informasi dan memilih banyak alternatif gagasan dari banyak pihak untuk mengembangkan mutu kebijakan melalui keputusan bersama. Pelaksanaannya selalu berlandaskan usaha meningkatkan partisipasi dan kolaborasi pada perencanaan, pelaksanaan kegiatan sehari-hari, meningkatkan penjaminan mutu sehingga pelayanan sekolah dapat memenuhi kepuasan konsumen.
Dalam menunjang keberhasilannya, MBS memerlukan banyak waktu dan tenaga yang diperlukan pihak eksternal untuk terlibat dalam banyak aktivitas sekolah. Hal ini menjadi salah satu kendala. Tingkat pemahaman orang tua tentang bagaimana seharusnya berperan juga menjadi kendala lain sehingga partisipasi dan kolaborasi orang tua sulit diwujudkan. Karena itu, pada tahap awal penerapan MBS di Indonesia lebih berkonsentrasi pada bagaimana orang tua berpartisipasi secara finansial dibandingkan pada aspek eduktif.
Tujuan Penerapan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan keunggulan sekolah melalui pengambilan keputusan bersama. Fokus kajiannya adalah bagaimana memberikan pelayanan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa, memenuhi kriteria yang sesuai dengan harapan orang tua siswa serta harapan sekolah dalam membangun keunggulan kompetitif dengan sekolah sejenis.
Tujuan SMA adalah melayani siswa agar dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan dapat memenuhi syarat kompetensi untuk dapat hidup mandiri. Siswa memiliki kompetensi sehingga dapat hidup dengan mangandalkan potensi dirinya secara kompetitif. Mutu sekolah ditentukan oleh seberapa besar daya sekolah untuk mewujudkan mutu lulusan sesuai dengan syarat yang ditentukan bersama. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Edward Sallis bahwa mutu adalah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.
Kejelasan tujuan merupakan prasyarat efektifnya sekolah. Kriteria mutu yang digambarkan dengan sejumlah kriteria pencapaian tujuan dengan indikator yang jelas menjadi bagian penting yang perlu sekolah rumuskan.
Keuntungan dengan memperjelas indikator dan kriteria mutu pada pencaian tujuan akan memandu sekolah memformulasikan strategi, mengimplementasikan strategi dan mengukur pencapaian kinerja.
Tujuan MBS adalah meningkatkan mutu keputusan untuk mencapai tujuan. Oleh karena, dalam pelaksanaan MBS memerlukan tujuan yang hendak dicapai secara jelas, jelas indikatornya, jelas kriteria pencapaiannya agar keputusan lebih terarah.
Lebih dari itu dengan proses pengambilan keputusan bersama harus sesuai dengan kepentingan siswa belajar. Dilihat dari sisi standardisasi, maka penerapan MBS berarti meningkatkan standar kinerja belajar siswa melalu pengambilan keputusan bersama, meningkatkan partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, dan meningkatkan kontrol dan evaluasi agar lebih akuntabel. Menyepakati profil hasil belajar yang diharapkan bersama merupakan dasar penting dalam melaksanakan MBS.
Partisipasi seluruh pemangku kepentingan berarti meningkatkan daya dukung bersama untuk meningkatkan mutu lulusan melalui peningkatan mutu pelayanan belajar dengan standar yang sesuai dengan harapan orang tua siswa yang ditetapkan menjadi target sekolah.
Manfaat Memiliki Tujuan Yang Jelas
Keuntungan dengan memperjelas indikator dan kriteria mutu pada pencapaian tujuan akan memandu sekolah memformulasikan strategi, mengimplementasikan strategi dan mengukur pencapaian kinerja.
Tujuan MBS adalah mengambil keputusan bersama untuk memperjelas tujuan, indikator, dan kriteria mutu yang ditetapkan sehingga memiliki keunggulan yang kompetitif karena keputusan akan sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi dan prestasi siswa pada tingkat satuan pendidikan.
Dengan demikian partisipasi orang tua siswa dalam bentuk biaya merupakan bagian dari peningkatan standar mutu pengelolaan sekolah, yang lebih penting dari itu ialah bagaimana orang tua berperan dalam meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi lulusan yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan harapan bersama.
Peta Keunggulan dan Pencitraan Sekolah
Thomas Sergiovanni dan Martin Burlingame (1997) mengembangkan model keunggulan sekolah dalam peta yang memiliki empat dimensi, yaitu dimensi pemerataan dan kunggulan dan efisensi dengan kebebasan. Peta persilangannya menghasilkan karater keungulan yang berbeda seperti di bawah ini.
Keunggulan
Efisiensi • Keunggulan
• Efisiensi
• (Birokratis – Elitis) • Keunggulan
• Kebebasan
• (Desentralisasi- Elitis) Kebebasan
• Pemerataan
• Efisiensi
• (Birokratis-liberal) • Pemerataan
• Kebebasan
• (Persamaan-liberal)
Pemerataan Akses
Keumggulan sekolah memiliki empat arah pengembangan yang berbeda. Sekolah sebagai bagian dari instrumen pemerintah wajib membantu meningkatkan pemerataan akses sehingga tiap warga negara dapat bersekolah. Menyediakan akses merupakan bentuk kecukupan minimal pemenuhan kewajiban pemerintah. Wajib mengikuti pendidikan dasar contoh yang tepat. Pada dimensi lain sekolah dapat mengembangkan mutu atau keunggulan sebagai tambahan atau nilai pembeda yang membuat sekolah memberikan tingkat kepuasan lebih.
Pengembangan sekolah yang memiliki potensi besar adalah mendapatkan kebebasan untuk berkreasi. Sebaliknya semakin terbatas sumber daya di sekolah semakin ketat menerapkan efisiensi. Sekali pun begitu efektivitas dan akuntabilitas sumber daya menjadi bahan pertimbangan lain yang menyebabkan kebebasan itu menjadi bukan tanpa batas.
Memadukan keunggulan dan efisiensi melahirkan model sekolah yang birokratis-elitis, perpaduan keunggulan dan kebebasan melahirkan tipe desentralisasi elitis, kebebasan dengan pemerataan akses melahirkan model sekolah yang medukung nilai persamaan-liberal, dan efisiensi dengan pemerataan melahirkan birokratis-liberal.
Pada beberapa daerah pengembangan pendidikan yang semakin dibatasi dalam memperoleh anggaran dari masyarakat menghasilkan model pengelolaan yang bertipe birokratis liberal dengan sifat pengelolaan sekolah harus tunduk pada kebebasan para pengambil kebijakan politis yang mengejar citra populis.
Indikator Mutu Lulusan
Mutu pendidikan Indonesia menetapkan indikator utama beriman-bertaqwa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab sebagai kompetensi utama manusia Indonesia. Potensi itu diarahkan untuk mendukung daya saing siswa sehingga (1) lulus UN (2) memiliki daya saing dalam memperebutkan daya saing masuk perguruan tinggi bermutu internasional (2) memiliki daya saing dalam lomba akademik taraf nasional maupun internasional (3) berkolaborasi pada taraf internasional.
Keunggulan siswa juga ditentukan oleh prestasinya dalam menguasai kompetensi pada seluruh mata pelajaran sesuai kurikulum, penguasaan bahasa Inggris dan teknologi informasi dan komunikasi.
Bagaimana Menerapkan MBS?
Penerapan MBS sebagai salah satu model manajemen strategik dalam sistem pengelolaan pendidikan dengan tujuan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan yang berstandar maka terdapat beberapa langkah strategis yang perlu sekolah lakukan:
• Merumuskan dan menyepakati standar lulusan yang diharapkan bersama dengan indikator dan target yang jelas yang merujuk pada standar nasional pendidikan.
• Menetapkan strategi yang akan sekolah terapkan untuk menghasilkan lulusan yang diharapkan dan relevansinya dengan peningkatan kebutuhan kurikulum, kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dan pembiayaan.
• Meningkatan daya dukung informasi dengan cara memindai kekuatan, kelemahan lingkungan internal serta memindai peluang dan ancaman lingkungan eksternal. Penyediaan informasi yang tepat dan terpercaya merupakan bagian penting dalam menunjang sukses pengambilan keputusan.
• Meningkatkan efektivitas komunikasi pihak internal dan eksternal sekolah dalam upaya meningkatkan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing, serta dalam membangun dan mengembangkan kerja sama memberikan pelayanan pendidikan secara optimal kepada siswa.
• Meningkatkan daya kolaborasi sekolah dalam menerapkan keputusan bersama ini sebagai bagian dari upaya melibatkan seluruh warga sekolah agar memiliki daya partisipasi yang kuat untuk mengubah kebijakan menjadi aksi.
Dalam upaya peningkatan mutu MBS sekolah perlu meningkatkan standar pengelolaan untuk mendapatkan (1) visi dan misi sekolah yang diputuskan bersama. (2) menetapkan tujuan terutama merumuskan indikator dan target mutu lulusan (3) menetapkan strategi yang melibatkan semua pihak untuk mewujudkan tujuan yang sekolah harapkan yang berporos pada meningkatkan mutu lulusan (4) Menetapkan kebijakan dan program peningkatan mutu lulusan dengan menerapkan delapan standar nasional pendidikan sebagai rujukan mutu termasuk di dalamnya penetapan anggaran untuk menyediakan akses dan kecukupan standar serta menetapkan keunggulan yang mungkin sekolah wujudkan. Sekolah yang efektif memiliki dokumen program yang telah disepakati bersama dan semua pihak yang terlibat memahami tugas masing-masing.
• Melaksanakan kegiatan sesuai dengan program sesuai dengan standar, melaksanakan anggaran sesuai dengan yang disepakati, memanfaatkan seluruh sumber daya secara efektif dan efisien, dan memastikan bahwa seluruh tahap kegiatan yang dilaksanakan seusai dengan rencana.
• Sekolah memastikan bahwa proses penyelenggaraan sekolah mengarah pada tercapainya tujuan dengan indikator dan target yang telah ditetapkan bersama. Sekolah juga melakukan studi bersama yang melibatkan seluruh unsur yang bertanggung jawab untuk meningkatkan penjaminan bahwa penyelenggaraan sekolah mencapai target yang diharapkan. Fokus utama penjaminan mutu adalah terselenggaranya pembelajaran dan pengelolaan secara efektif.
• Melaksanakan kontrol sesuai dengan hasil kesepakatan bersama dan mengolah hasil evaluasi sebagai bahan perbaikan selanjutnya.
Untuk mendukung efektifnya empat tahap kegiatan itu perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang beberapa hal berikut :
• Mendeskripsikan lulusan dengan indikator yang jelas yang diikuti dengan indentifikasi kebutuhan kurikulum, kompetensi pendidik, sarana, biaya, dan sistem pengelolaan.
• Meningkatkan keberdayaan sekolah dalam mengembangkan sistem informasi sebagai bahan pengambilan keputusan.
• Menyediakan infomasi yang perlu dipahami oleh seluruh anggota komunitas agar tiap orang dipastikan dapat melaksanakan tugasnya secara optimal.
• Meningkatkan kegiatan sosialisasi program sehingga semua pihak dipastikan mendapatkan informasi secara transparan dan akuntabel.
• Meningkatkan kekerapan dan kedalaman komunikasi baik secara langsung maupun komunikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
• Mengembangkan tim pengembang mutu yang akan mengimplementasikan kegiatan yang melibatkan pihak internal dan eksternal.
• Mempersiapkan instrumen pengukuran pencapaian kinerja baik terhadap proses maupun hasil dengan indikator yang transparan sehingga semua pihak memahami betul ukuran keberhasilan yang disepakati.
• Melaksanakan pertemuan mengembangakan rencana kegiatan, evaluasi kegiatan, dan evaluasi hasil.
• Menyusun pertanggung jawaban program secara transparan dan akuntabel.
• Melakukan perbaikan berkelanjutan.
Mudah-mudahan langkah-langkah praktis yang telah tersusun pada tulisan ini dapat menjadi panduan para kepala sekolah dalam melaksanakan tugas menerapkan standar nasional pendidikan dengan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif.

Paradigm baru manajemen pendidikan nasional

Sumber: Departemen teknologi informasi Koran jakarta

JAKARTA , Kritikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal metodologi pendidikan yang masih lemah harus menjadi cambuk untuk segera berbenah.

Salah satu yang mendesak dibenahi adalah manajemen pendidikan yang masih dinilai acak-acakan, kurikulum pendidikan yang tidak berkonsep, serta disusun dengan tidak profesional.

Hal itu diungkapkan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, di Jakarta, Jumat (30/10). Menurutnya, manajemen dunia pendidikan nasional juga tidak jelas dan kerap menuai kontroversi.

“Bagaimana bisa dikatakan mengurus dunia pendidikan dengan benar jika ada Jaksa Agung atas usul Menteri Pendidikan Nasional melarang buku-buku pelajaran sejarah.

Padahal manajemen pendidikan yang benar punya andil untuk menyuburkan nasionalisme di tengah masyarakat Indonesia,” papar Asvi.

Dia juga mengkritik kerap berubahnya kurikulum tanpa dasar dan konsep yang jelas.

Contohnya pergantian kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi yang diganti dengan kurikulum 2006 “Dari aspek sejarah, sulit dikatakan kurikulum baru itu dibuat secara profesional,”ujar Asvi.

Sedangkan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Gusti Asnan, mengatakan salah satu kelemahan metodologi pendidikan itu ditunjukkan oleh kurikulum pendidikan itu sendiri.

Kurikulum pendidikan yang ada dinilai tidak mengakar pada sejarah bangsa. Hasilnya hanya adopsi dari kurikulum luar, tapi tanpa dibarengi dengan pemahaman akan fakta yang ada.

Akibat kurang menyerap fakta sejarah, kata dia, dunia pendidikan tidak membumi, sehingga kurikulum tidak mengakar.

Alih-alih kurikulum pendidikan itu dijadikan instrumen tumbuhnya kebanggaan dan rasa kebangsaan generasi muda, justru yang terjadi sebaliknya.

“Salah satunya karena dunia pendidikan tak menganggap penting pelajaran sejarah,” katanya.
 
Copyright 2009 Artikel. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator